Thursday, October 31, 2019

Internship report Assignment Example | Topics and Well Written Essays - 250 words

Internship report - Assignment Example the company, I was holding the position of jvs preparation and filing, payment request preparation, payroll and employee benefit, petty cash controlling as well as preparation of P&L preparation on monthly basis. In this, the company, under the supervision of Hashim Al Shuaili, ensured that I was fully trained in these areas. This made me gain tremendous experience needed in the employment sector. Other than the experience, I also made several networks in the company. I was introduced to several departments and made several contacts with different personnel. This is an important leverage when it comes to job seeking. This has ensured that I have an edge in the job market. In addition to the above, the internship with the Modern Jozze Company made me apply classroom knowledge in the positions I was assigned. This ensured that I applied the skills gained in classroom into a real world setting. This was very important in proving my worth in the positions that I was assigned. The internship has made me develop professional behavioral and social skills. This is due to increased interactions with different individuals as well as customers. As such, I have been able to get a head start on classroom learning through working as an intern at Modern Jozze

Tuesday, October 29, 2019

Patient portal adoption challanges Essay Example | Topics and Well Written Essays - 250 words

Patient portal adoption challanges - Essay Example On the contrary, motivation based factors are the attitudes that the medical staff has towards the adoption of healthcare portals. In this context, the professionals complain that the portals are difficult to use, require more than enough training. Moreover, some have presumed that the portals are inappropriate for handling healthcare records while others simply state that they do not enjoy using the information systems. To some extent, the medical staffs are justified in their objection to patient portals since they require technical knowledge absent in most of the workers (Ronda, Dijkhorst-Oei, & Rutten, 2014). The use of a patient portal requires suffice skills on Information Technology as opposed to medical and health care knowledge. Security and privacy concerns have been some of the misgivings of information systems and given the nature of the systems, breaches can occur where stealing of personal data can be a huge set back to the adoption of the portals. Nonetheless, the privacy issue concerns sharing of critical information with the employer, a situation that has made many medical staffs be worried about the extent of personal information they leave feed into the system. Medical workers presume that too much personal information is compromising their relationships with their employers. LeRouge, C., Slyke, C., Seale, D & Wright, K. (September, 2014). Baby Boomers’ Adoption of Consumer Health Technologies: Survey on Readiness and Barriers. Journal of Medical Internet Research. 16(9). Retrieved from http://www.jmir.org/2014/9/e200/#table4 Ronda, M. C., Dijkhorst-Oei, L.-T., & Rutten, G. E. (2014). Reasons and Barriers for Using a Patient Portal: Survey Among Patients With Diabetes Mellitus. Journal of Medical Internet Research, 16(11), e263.

Sunday, October 27, 2019

Perkembangan

Perkembangan CADANGAN DEVISA, FINANCIAL DEEPENING DAN STABILISASI NILAI TUKAR RIIL RUPIAH AKIBAT GEJOLAK NILAI TUKAR PERDAGANGAN Abstract These papers analyze the influence of the international reserves and the financial deepening on the real exchange rate stabilization due to the terms of trade shock. The analysis covers 6 countries with quarterly data (Indonesia, United States, Japan, Hong Kong, Singapore and South Korea during the period of 2000.1 to 2006.4). This research utilizes the international reserves mitigation and the financial deepening mitigation model. This result shows that the reserves mitigation terms variable plays important role as the real exchange rate stabilization regarding the terms of trade shock in a common sample, but not in specific country. The mitigation effect associated with international reserves (buffer stock effect) applies only in South Korea. While for United State and Indonesia mitigation effect associated with international reserves opposite way. Even for Hong Kong, Japan and Singapore, the mitigation effect does not have significant induces real exchange rate stability. Furthermore, the financial deepening mitigation terms variable cannot be treated as the real exchange rate stabilization in a common sample, but not specific country. The mitigation effect associated with financial deepening (shock absorber effect) applies only in United States and Indonesian economic, while for South Korea the mitigation effect associated with the financial deepening works in opposite way. Even for Hong Kong, Japan and Singapore, the mitigation effect of financial deepening does not have significant induces real exchange rate stability. In Indonesian economic, the financial deepening is more effective than the international reserve to create the real exchange rate stability. The shock absorber effect in Indonesia is more effective than the buffer stock effect to stabilize the real exchange rate due to the terms of trade shock. JEL Classification: E44, F31, F32 Keywords: International reserves, buffer stock, financial deepening, shock absorber, terms of trade shock, real exchange rate. I. PENDAHULUAN Perkembangan ekonomi Indonesia dewasa ini menunjukkan semakin terintegrasi dengan perekonomian dunia. Hal ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem perekonomian terbuka yang dalam aktivitasnya selalu berhubungan dan tidak lepas dari fenomena hubungan internasional. Adanya keterbukaan perekonomian ini memiliki dampak pada perkembangan neraca pembayaran suatu negara yang meliputi arus perdagangan dan lalu lintas modal terhadap luar negeri suatu negara. Salah satu bentuk aliran modal yang masuk ke dalam negeri yaitu dapat berupa devisa yang berasal dari perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara tersebut. Meningkatnya ekspor suatu negara akan membawa keuntungan yaitu kenaikan pendapatan, kenaikan devisa, transfer modal dan makin banyaknya kesempatan kerja. Demikian pula meningkatnya impor suatu negara akan memberikan lebih banyak alternatif barang-barang yang dapat dikonsumsi dan terpenuhinya kebutuhan bahan-bahan baku penolong serta barang modal untuk kebutuhan industri di negara-negara tersebut dan transfer teknologi. Perdagangan internasional akan terjadi pada suatu perbandingan harga tertentu yaitu antara harga ekspor dan harga impor yang sering disebut nilai tukar perdagangan (terms of trade, TOT). Nilai tukar perdagangan besar sekali pengaruhnya terhadap kesejahteraan suatu bangsa dan juga sebagai pengukur posisi perdagangan luar negeri suatu bangsa. TOT yang disimbolkan dengan N dihitung sebagai perbandingan antara indeks harga ekspor (Px) dengan indeks harga impor (Pm) atau N = Px/Pm (Nopirin 1992: 71). Kenaikan N menunjukkan perbaikan di dalam Terms of Trade. Perbaikan terms of trade ini dapat timbul sebagai akibat nilai perubahan harga ekspor yang lebih besar realatif terhadap harga impor. Perbaikan terms of trade akan meningkatkan pendapatan negara tersebut dari perdagangan demikian sebaliknya. Selain mempengaruhi pendapatan negara, pergerakan TOT juga mempengaruhi nilai tukar riil, (Mankiw, 2000: 195). Upaya untuk mengatasi pengaruh memburuknya terms of trade terhadap nilai tukar ini dapat menggunakan cadangan devisa (international reserves) yang dimiliki negara yang bersangkutan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Aizenman and Crichton (2006), menyebutkan bahwa negara-negara yang mengekspor barang ­barang sumberdaya alam memiliki volatilitas terms of trade yang 3 kali lebih volatil dibandingkan negara-negara yang mengekspor barang manufaktur. Selain besaran pergerakan TOT, volatilitas ini juga mempengaruhi nilai tukar riil suatu negara Pada dasarnya international reserves berfungsi sebagai buffer stock untuk berjaga-jaga guna menghadapi ketidakpastian keadaan yang akan datang. Sehingga, apabila terjadi depresiasi nilai tukar riil akibat memburuknya terms of trade maka disitulah international reserves berfungsi sebagai penstabil. Perbaikan terms of trade akan meningkatkan aliran modal masuk sehingga akan kembali mendorong apresiasi nilai tukar riil. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Rajan dan Siregar (2004), diperoleh bahwa reserves merupakan kunci utama dari suatu negara untuk dapat menghindari krisis ekonomi dan keuangan. Terutama bagi negara-negara dengan perekonomian yang terbuka dimana aliran modal internasional adalah volatil atau rentan terhadap terjadinya shock yang merambat dari negara lain (contagion effect). Bahwa dengan melihat pengalaman krisis yang terjadi pada tahun 1997, negara yang memiliki reserves yang besar dapat menghindari contagion effect dari krisis dengan lebih baik dibandingkan dengan negara yang memiliki reserves yang kecil. Upaya untuk mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade shock selain dengan international reserves juga dapat diatasi dengan mengukur financial deepening (kedalaman sektor keuangan) suatu negara. Financial deepening diukur melalui rasio M2 dibagi GDP (Gross Domestic Product). Penggunaan rasio ini dikarenakan merupakan rasio paling umum yang digunakan untuk mengukur perkembangan sektor keuangan suatu negara. Hasil rasio ini akan menunjukkan rasio penggunaan M2 untuk menghasilkan setiap GDP. Semakin kecil dalam rasio tersebut menunjukkan semakin dangkal sektor keuangan suatu negara dan semakin besar rasio tersebut menunjukkan sektor keuangan negara tersebut semakin dalam. Suatu negara dengan rasio financial deepening yang besar cederung mengurangi peran international reserves sebagai penstabil nilai tukar riil. Hal ini dikarenakan negara dengan rasio financial deepening yang besar dapat dikatakan telah memiliki pertumbuhan ekonomi yang sudah baik sehingga negara tersebut dapat mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade shock dengan penyesuaian otomatis melalui mekanisme pasar, Aizenman dan Crichton (2006). Karakteristik Indonesia sebagai à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬  small open economyà ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   yang menganut sistem devisa bebas dan sistem nilai tukar mengambang (free floating) menyebabkan pergerakan nilai tukar di pasar rentan oleh pengaruh faktor ekonomi dan non-ekonomi. Untuk mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan maka pelaksanaan intervensi menjadi sangat penting terutama untuk menjaga stabilitas nilai tukar pada saat tertentu yang benar-benar dibutuhkan agar dapat memberikan kepastian bagi dunia usaha. Salah satu bentuk intervensi itu adalah dengan menggunakan international reserves dan ini sejalan dengan argumentasi Aizenman,dkk (2004) bahwa suatu negara yang menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas akan cenderung mengurangi permintaan international reserves-nya. Di Indonesia, Bank Indonesia sejauh ini berupaya untuk mengoptimalkan berbagai fasilitas atau insentif agar semakin banyak eksportir yang bersedia menyerahkan devisa hasil ekspornya ke Bank Indonesia (Goeltom dan Zulverdi, 1998). Bahkan dalam masa krisis pasar modal global 2008 ini, Bank Indonesia mewajibkan pengguna valas untuk melaporkan peruntukannya jika melebihi US$10.000 per bulan. Permasalahan mendasar yang diangkat dalam penelitian ini diantaranya: 1) Bagaimanakah pengaruh international reserves dalam perannya sebagai penstabil nilai tukar riil akibat terms of trade shock. 2) Bagaimanakah pengaruh financial deepening dalam perannya sebagai penstabil nilai tukar riil akibat terms of trade shock. Kedua permasalahan tersebut akan dibahas bagaimanakah pengaruhnya di keseluruhan obyek penelitian dan juga secara spesifik setiap Negara untuk memperoleh perbandingan antar Negara, khususnya antara Indonesia dengan Negara-negara mitra dagang utama (Amerika serikat, Jepang, Singapura, Korea Selatan dan Hongkong). II. TEORI II.1. International Reserves ≈The need of a central bank for international reserves is similar to an individual »s desire to hold cash balances (currency and checkable deposits)à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   (Carbaugh, 2004: 513). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kebutuhan international reserves bagi suatu negara mempunyai tujuan dan manfaat seperti halnya manfaat kekayaan bagi suatu individu. Motif kepemilikan international reserves dapat disamakan dengan motif seseorang untuk memegang uang yaitu untuk motif transaksi, motif berjaga-jaga dan motif spekulasi. Motif transaksi antara lain untuk membiayai transaksi impor yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendukung proses pembangunan, motif berjaga-jaga berkaitan dengan mengelola nilai tukar, serta motif yang ketiga adalah untuk lebih memenuhi kebutuhan diversifikasi kekayaan (memperoleh return dari kegiatan investasi dengan international reserves (Gandhi, 2006: 1). Jhingan (2001) menyatakan bahwa ≈International liquidity (generally used as a synonym for international reserves) is defined as the aggregate stock of internally acceptable assets held by the central bank to settle a deficit in a country »s balance of payments. International reserves merupakan asset dari bank sentral yang dipergunakan untuk mengatasi ketidakseimbangan neraca pembayaran. Definisi tersebut senada dengan konsep International Reserves and Foreign Currency Lliquidity (IRFCL) yang dikeluarkan oleh IMF bahwa international reserves didefinisikan sebagai seluruh aktiva luar negeri yang dikuasai oleh otoritas moneter dan dapat digunakan setiap waktu guna membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran atau dalam rangka stabilitas moneter 3. 3 Guidelines for International Reserves and Foreign Currency Liquidity, IMF, 2001. Sedangkan menurut Salvatore (1996: 513), bahwa international reserves merupakan asset-asset likuid dan berharga tinggi yang dimiliki suatu negara yang nilainya diakui atau diterima oleh masyarakat internasional dan dapat dipakai sebagai alat-alat pembayaran yang sah bagi pemerintah atau negara yang merupakan pemiliknya dalam mengadakan transaksi-transaksi atau pembayaran internasional. Selain untuk tujuan stabilisasi nilai tukar, terkait dengan neraca pembayaran international reserves dapat digunakan untuk membiayai impor dan membayar kewajiban luar negeri. Besar kecilnya akumulasi international reserves suatu negara biasanya ditentukan oleh kegiatan perdagangan (ekspor dan impor) serta arus modal negara tersebut. Kecukupan international reserves ditentukan oleh besarnya kebutuhan impor dan sistem nilai tukar yang digunakan. Dalam sistem nilai tukar yang mengambang bebas, fungsi international reserves adalah untuk menjaga stabilitas nilai tukar hanya terbatas pada tindakan untuk mengurangi fluktuasi nilai tukar yang terlalu tajam. Oleh karena itu, international reserves yang dibutuhkan tidak perlu sebesar international reserves yang dibutuhkan apabila negara tersebut mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Wujud utama dari international reserves adalah emas, hard currencies yang pada umumnya dalam bentuk empat jenis mata uang utama yang dianggap paling berpengaruh di dunia, yaitu: US dollar, Euro, Poundsterling dan Yen serta surat-surat berharga terbitan IMF yang biasa disebut sebagai Special Drawing Rights (SDRs). Penjelasan lebih rinci mengenai komponen international reserves sebagaimana dijelaskan oleh Gandhi (2006: 4). Berkaitan dengan sifat dari rezim nilai tukar (sistem nilai tukar tetap, mengambang dan mengambang terkendali) di negara yang menganut sistem nilai tukar tetap pada umumnya memerlukan international reserves yang besar untuk mempertahankan nilai tukar pada level yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan oleh ketakutan negara itu akan ketidakpastian dalam sistem nilai tukar mengambang bebas yang diterapkannya. Sehingga, sebagai upaya untuk berjaga√jaga dalam menghadapi fluktuasi nilai tukarnya otoritas moneter negara tersebut membutuhkan international reserves dalam jumlah yang dianggap memadai guna stabilisasi nilai tukar. Pada sistem nilai tukar mengambang, terjadinya pergerakan nilai tukar dapat diatasi sendiri oleh mekanisme pasar, sehingga jumlah international reserves yang dibutuhkan tidak sebanyak yang dibutuhkan oleh suatu negara dengan sistem nilai tukar tetap yang rigid. Menurut Carbaugh (2004: 516), tujuan utama dari international reserves adalah untuk memfasilitasi pemerintah dalam melakukan intervensi pasar sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar. Sehingga, suatu negara dengan aktivitas stabilisasi yang aktif memerlukan jumlah international reserves yang besar pula. Keterbukaan perekonomian suatu negara tercermin dengan semakin besarnya transaksi perdagangan dan aliran modal antar negara. Semakin terbuka perekonomian suatu negara kebutuhan international reserves-nya cenderung semakin besar guna membiayai transaksi perdagangan. Parameter yang biasa dipakai untuk mengukur kecukupan international reserves sehubungan dengan transaksi perdagangan antar negara adalah marginal propensity to import. Semakin besar angka propensity tersebut menunjukkan semakin besarnya kebutuhan international reserves yang harus dimiliki dan semakin kecil angka propensity tersebut menunjukkan semakin kecilnya kebutuhan international reserves yang harus dimiliki (Gandhi, 2006: 11). Dengan tersedianya international reserves yang mencukupi maka apabila suatu negara mengahadapi kondisi terms of trade yang buruk yang kemudian akan berpengaruh pada nilai tukar riilnya maka international reserves dapat berperan sebagai absorber. II.2. Nilai Tukar Perdagangan (Terms of Trade) Terdapat beberapa konsep tentang TOT. Konsep pertama merupakan konsep yang paling umum digunakan, yaitu net barter terms of trade atau juga dapat disebut commodity terms of trade. Net barter terms of trade adalah perbandingan antara indeks harga ekspor dengan indeks harga impor. Kenaikan ekspor menunjukkan perbaikan di dalam nilai tukar perdagangan, artinya untuk sejumlah tertentu ekspor dapat diperoleh jumlah impor yang lebih banyak dengan melalui hubungan harga (Nopirin, 1995: 71). Forumulasinya dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut: (III.1) Dimana, Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan 100 adalah Indeks tahun dasar. Bila N >100 atau terjadi kenaikan net barter terms of trade maka berarti terjadi perkembangan perdagangan luar negeri yang positif karena dengan nilai ekspor tertentu diperoleh nilai impor yang lebih besar (Hady, 2001:77). Konsep kedua adalah gross barter terms of trade, merupakan perbandingan antara indeks volume impor dengan indeks volume ekspor. Konsep ini menjadi tidak penting karena kurang memberikan gambaran tentang perubahan harga. Oleh karena itu, apabila konsep terms of trade tanpa diberi penjelasan apa-apa maka yang dimaksud adalah konsep net barter terms of trade. Konsep ketiga adalah income terms of trade yang dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut : (III.2) Dimana: N adalah net barter terms of trade; Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan Qx adalah Indeks kuantitas ekspor. Berdasarkan konsep ini, kenaikan income terms of trade menunjukkan bahwa suatu negara dapat memperoleh jumlah impor yang lebih besar dengan dasar kenaikan nilai ekspornya. Bagi negara-negara yang sedang berkembang, selain variabel harga juga sangat penting untuk menilai terms of trade ini dengan mempertimbangkan volume ekspornya karena kenaikan harga ekspor yang tinggi mungkin diimbangi dengan turunnya volume ekspor. Perbaikan TOT dapat timbul sebagai akibat: (1) harga ekspor naik sedang harga impor tetap; (2) harga ekspor tetap sedang harga impor turun; (3) harga ekspor naik dengan proporsi yang lebih besar daripada naiknya harga impor; (4) harga ekspor turun dengan proporsi yang lebih kecil daripada turunnya harga impor. Mekanisme bagaimana TOT dapat berpengaruh pada nilai tukar riil adalah dapat dilihat dari sebuah mekanisme sederhana yaitu perbaikan TOT akan meningkatkan aliran modal masuk yang berasal dari perdagangan yang selanjutnya dapat mengapresiasi nilai tukar riil dan sebaliknya. Memburuknya TOT akan mengakibatkan permintaan valuta asing meningkat sehingga akan mendepresiasi nilai tukar riil. Terkait dengan jenis produksi yang diperdagangkan, maka secara umum nilai tukar perdagangan komoditi (commodity terms of trade atau net barter terms of trade) negara ­negara berkembang cenderung mengalami kemerosotan dari waktu ke waktu. Salah satu penyebab utamanya adalah sebagian besar atau bahkan semua kenaikan produktivitas yang terjadi di negara-negara maju dialirkan ke para pekerjanya dalam bentuk upah dan pendapatan yang lebih tinggi, sedangkan sebagian besar atau seluruh kenaikan produktivitas yang berlangsung di negara-negara berkembang diwujudkan sebagai harga-harga produk yang lebih murah (Salvatore, 1996 : 431). II.3. Nilai Tukar Riil (Real Exchange Rate) dan Pasar Valas Setiap negara memiliki sebuah mata uang yang menunjukkan harga-harga barang dan jasa. Pengertian nilai tukar valuta asing adalah ≈Exchange rate is the price of one nation »s money in terms of another nation »s money.à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   ≈The nominal exchange rate is usually called the exchange rateà ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬  . Menurut definisi tersebut nilai tukar diartikan sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar nominal biasa disebut nilai tukar (exchange rate) (Pugel, 2004). Menurut Mankiw, nilai tukar nominal adalah harga relatif dimana seseorang dapat memperdagangkan mata uang suatu negara dengan mata uang lainnya (Mankiw, 2000: 200). Dengan menggunakan suatu indeks harga untuk Indonesia (P), sebuah indeks harga untuk harga-harga di luar negeri (P*) dan nilai tukar nominal antara rupiah dengan mata uang asing (e), akan dapat diukur nilai tukar riil keseluruhan antara Indonesia dengan negara-negara lain sebagai berikut : Nilai Tukar Riil = (e x P) / P* (III.3) Terdapat paling tidak 3 faktor utama yang mempengaruhi permintaan valuta asing. Pertama, faktor pembayaran impor. Semakin tinggi impor barang dan jasa, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga nilai tukar akan cenderung melemah. Kedua, faktor aliran modal keluar (capital outflow). Semakin besar aliran modal keluar, maka semakin besar permintaan valuta asing dan pada kelanjutannya akan memperlemah nilai tukar. Aliran modal keluar meliputi pembayaran hutang penduduk Indonesia (baik swasta dan pemerintah) kepada pihak asing dan penempatan dana penduduk Indonesia ke luar negeri. Ketiga , kegiatan spekulasi. Semakin banyak kegiatan spekulasi valuta asing yang dilakukan oleh spekulan, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga memperlemah nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing. Sementara itu, penawaran valuta asing dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, faktor penerimaan hasil ekspor. Semakin besar volume penerimaan ekspor barang dan jasa, maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara dan pada lanjutannya nilai tukar terhadap mata uang asing cenderung menguat atau apresiasi. Kedua, faktor aliran modal masuk (capital inflow). Semakin besar aliran modal masuk, maka nilai tukar akan cenderung semakin menguat. Aliran modal masuk tersebut dapat berupa penerimaan hutang luar negeri, penempatan dana jangka pendek oleh pihak asing (portofolio investment) dan investasi langsung pihak asing (foreign direct investment) (Simorangkir dan Suseno, 2004: 6). II.4. Financial Deepening Ukuran dari perkembangan intermediasi keuangan biasanya digunakan pengukuran indikator melalui kuantitas, kualitas, dan efisiensi dari jasa intermediasi keuangan (Calderon, 2002:5). Terdapat beberapa indikator untuk mengetahui seberapa besar tingkat perkembangan sektor keuangan salah satu diantaranya adalah rasio antara aset keuangan dalam negeri terhadap GDP (Muklis, 2005: 2). Menurut King dan Levine (1993), ≈Financial deepening means an increase in the money supply of financial assets in the economy, it is important to develop some measures of the widest range of financial assets, including money.à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   Selain itu, King dan Levine merancang 4 ukuran dalam perhitungan perkembangan sektor keuangan. Pertama, ukuran dari kedalaman sektor keuangan adalah rasio dari kewajiban lancar (liquid liabilities) dari sistem keuangan terhadap GDP. Kewajiban lancar dalam hal ini adalah M3, namun apabila M3 tidak bisa didapatkan maka digunakan M2. Hal ini sejalan dengan IMF dalam database International Financial Statistic dan juga Slangor (1991:11). Kedua , adalah rasio dari deposit money bank domestic asset dibagi dengan deposit money bank domestic asset ditambah dengan central bank domestic asset yang menggambarkan institusi keuangan yang lebih spesifik. Ketiga , rasio kredit dari sektor swasta non keuangan dibagi dengan total kredit domestik. Keempat, adalah rasio kredit sektor swasta non-keuangan dibagi dengan GDP. Dua yang terakhir ini menggambarkan ukuran kuangan sektor dan tingkat pinjaman publik (King dan Levine, 1993: 4). Penggunaan rasio M2 terhadap GDP sebagai indikator financial deepening juga dibenarkan oleh King dan Levine, (1993: 5). Semakin kecil rasio tersebut maka semakin dangkal sektor keuangan suatu negara. Suatu negara dikatakan memiliki sektor keuangan yang dalam apabila M2 > 20% dari GDP dan dangkal apabila M2 III. METODOLOGI Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan merupakan data panel, mencakup periode 2000:Q1 2006:Q4 dan 6 negara yakni Indonesia dan 5 negara mitra dagang utamanya yaitu; Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, Singapura dan Korea Selatan. Sumber utama data berasal dari International Financial Statistic yang diterbitkan oleh IMF. Teknik estimasi data panel digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh international reserves yang digunakan dalam rangka stabilisasi nilai tukar akibat terms of trade shock. Selain itu model ini juga diperunakan untuk melihat bagaimana peran financial deepening suatu negara dalam stabilisasi nilai tukar ini. Model persamaan yang diestimasi, dikembangkan dari penelitian (Aizenman dan Crichton, 2006), yakni: 1. Model international reserves mitigation terms : (III.4) 2. Model financial deepening mitigation terms : Dimana : RER adalah nilai tukar riil (Real Exchange Rate); ETOT adalah efektifitas nilai tukar perdagangan yang dinilai dari keterbukaan perdagangan (Trade Openness) yang dikalikan dengan nilai tukar perdagangan (Terms of Trade); RES adalah cadangan internasional (International reserves); FD adalah kedalaman sektor keuangan (Financial Deepening); i adalah crossection indentification; t adalah time series identification; ÃŽ µit adalah Koefisien pengganggu (error terms) 4. Varian pertama dari teknik estimasi data panel adalah pendekatan pooled least square (PLS) yang secara sederhana menggabungkan seluruh data time series dan cross section dan kemudian mengestimasi model dengan menggunakan metode ordinary least square (OLS) 5. Pendekatan kedua adalah fixed effect model (FEM) yang memperhitungkan kemungkinan perbedaan intercept antar individu yang ditunjukkan dengan kehadiran ÃŽ ±i pada persamaan (III.6). Secara teknis, model dengan fixed effect menambahkan dummy variables sebanyak N-1 buah ketika terdapat N individu. Pendekatan ketiga adalah random effect model (REM) yang dapat memperbaiki efisiensi proses least square dengan memperhitungkan error dari time series dan cross section. Berbeda dengan FEM, model REM memperlakukan intercept sebagai random variable dengan rata-rata ÃŽ ± dengan stokastik terms ÃŽ µit. Model random effect adalah variasi dari estimasi generalized least square (GLS). Model data panel untuk masing-masing varian teknik tersebut adalah sebagai berikut (Gujarati, 2003: 640): a. Pooled Least Square (III.6) b. Fixed Effect (III.7) c. Random Effect (III.8) Pada dasarnya penggunaan metode data panel memiliki beberapa keunggulan (Widarjono, 2005: 254). Pertama , panel data mampu memperhitungkan heterogenitas individu secara eksplisit dengan mengijinkan variabel spesifik individu. Kemampuan mengontrol heterogenitas 4 Definisi operasional variabel lebih detail dapat dilihat dilampiran IV.A. 5 Lihat: Baltagi, 2002 ; Gujarati, 2003 ; Maddala ; 1993 ; Pindyck dan Rubinfeld, 1998. individu ini pada gilirannya menjadikan data panel dapat digunakan untuk menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Kedua, jika efek spesifik signifikan berkorelasi dengan variabel penjelas lainnya, penggunaan panel data akan mengurangi masalah omitted variables secara substansial. Ketiga , data panel mendasarkan diri pada observasi cross section yang berulang-ulang (time series), sehingga metode data panel cocok untuk digunakan sebagai study of dynamic adjustment. Keempat, tingginya jumlah observasi memiliki implikasi pada data yang lebih informatif, lebih variatif, kolinearitas antar variabel yang semakin berkurang dan peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom), sehingga dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih efisien. Kelima, data panel dapat digunakan untuk mempelajari model-model perilaku yang kompleks. Keenam, data panel dapat meminimalisir bias yang mungkin ditimbulkan oleh agregasi data individu. Keunggulan-keunggulan tersebut diatas memiliki implikasi pada tidak diperlukannya pengujian asumsi klasik dalam model data panel, sesuai apa yang ada dalam beberapa literatur yang digunakan dalam penelitian ini6. Dalam estimasi selanjutnya sebagai persyaratan estimasi regresi data panel, perlu di pilih penggunaan antara pooled least square, random effect model atau fixed effect model. Ketiga model tersebut akan berbeda dalam intrepetasi selanjutnya sehingga perlu dilakukan pemilihan model untuk memperoleh estimasi yang efisien sesuai dengan penggunaan regresi data panel. Pertama uji statistik F digunakan untuk memilih antara metode PLS tanpa variabel dummy atau memilih Fixed Effect. Kedua uji Lagrange Multiplier (LM) digunakan untuk memilih antara OLS tanpa variabel dummy atau memilih Random Effect. Terakhir , untuk memilih antara Fixed Effect Model (FEM) atau Random Effect Model (REM) digunakan uji yang dikemukakan oleh Hausman. Jika data time series lebih besar dibandingkan data cross section maka teknik efek acak (REM) kurang tepat atau tidak dapat dipakai untuk mengestimasi suatu model (Telisa, 2004:30)7. Dalam model penelitian ini teknik Random Effect Model (REM) tidak dapat digunakan, karena pada penelitian ini jumlah time series (28 time series) lebih besar dibandingkan dengan jumlah cross section (6 cross section). Oleh sebab itu pemilihan teknik estimasi dalam penelitian ini hanya memilih diantara dua teknik estimasi yaitu PLS (Pooled Least Square) atau FEM (Fixed Effect Model). Hasil pengujian menyarankan penggunaan Model Fixed Effect (Unrestricted) dalam penelitian ini. 6 Lihat: Maddala, 1998; Pindyck Rubinfeld, 1991; Greene, 2003; Gujarati, 2003; Widarjono, 2005. 7 Ibid IV. HASIL DAN ANALISA IV.1. Model International Reserves Mitigation Terms Berdasarkan hasil pengolahan data dalam tabel III.1. koefisien determsinasi model International Reserves Mitigation Terms untuk keseluruhan negara adalah sebesar 0.999602 sedangkan untuk estimasi spesifik masing-masing negara adalah sebesar 0.999845. Artinya variasi variabel independen dalam model tersebut mampu menjelaskan variasi dari variabel dependen kedua model tersebut masing-masing sebesar 99,96% dan 99,98%. Secara simultan, variabel-variabel yang digunakan dalam estimasi keseluruhan maupun estimasi spesifik memiliki pengaruh yang signifikan, kondisi tersebut dapat diketahui dari nilai Fyang masing-masing sebesar 57441.05 dan 57032.28. Nilai tersebut melebihi nilai kritis yang dipersyaratkan sesuai dengan F-tabel hingga taraf signifikansi 1%. Dengan demikian nilai F> Fyang berarti H ditolak. Secara parsial sebagaimana terdapat dalam tabel dibawah menunjukkan pengaruh masing-masing variabel bebas yang signifikan terhadap variabel nilai tukar riil (variabel dependen) pada estimasi secara keseluruhan. Namun untuk estimasi spesifik masing-masing negara hanya variabel effective terms of trade Indonesia, reserves mitigation terms Indonesia, Korea dan Amerika yang signifikan secara statistik mempengaruhi vriabel real exchange rate. Sumber: Hasil pengolahan Keterangan: * = Signifikan 1%; **=Signifikan 5%. Dari estimasi secara keseluruhan dalam tabel diatas terlihat bahwa pengaruh effective terms of trade (ETOT) terhadap real exchange rate (RER) adalah positif. Temuan empiris ini tidak sesuai dengan teori yang digunakan dalam penelitian, yaitu diharapkan bernilai negatif. Dengan asumsi bahwa peningkatan real exchange rate merupakan depresiasi nilai tukar domestik atau apresiasi nilai tukar mitra dagang, maka peningkatan pada effective terms of trade suatu negara terhadap negara-negara mitra dagangnya cenderung meningkatkan (depresiasi) real exchange rate. Rata-rata effective terms of trade keseluruhan negara obyek penelitian adalah 1,82, dengan perubahan pada real exchange rate rata-rata apresiasi sebesar 0,04%. Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa elastisitas real exchange rate terhadap effective terms of trade shock ialah kenaikan effective terms of trade sebesar 1% mempengaruhi real exchange rate sebesar 0.28%. Dapat diartikan bahwa perbaikan effective terms of trade akan menyebabkan mata uang luar negeri mengalami apresiasi terhadap mata uang dalam negeri. Kondisi demikian menggambarkan bahwa keterbukaan perdagangan memiliki sisi negatif yaitu kecenderungan untuk melemahkan nilai tukar suatu negara ketika terjadi penurunan kinerja perekonomian negara mitra dagang tersebut dan dengan dukungan trade openness dan effective terms of trade yang semakin meningkat. Kondisi ini secara aktual dapat digambarkan pada resesi global pada saat ini yang hampir tidak sedikitpun negara yang menuai imbas negatif. Hampir seluruh perekonomian dunia termasuk nilai tukarnya cenderung terdepresiasi dan perekonomian berjalan lambat. Ketidaksesuaian hasil ini dimungkinkan juga dikarenakan kekuatan pasar yang mempengaruhi fluktuasi nilai tukar. Aliran modal jangka pendek, aliran keuangan internasional baik dari pemerintah maupun swasta yang erat kaitannya dengan keterbukaan perekonomian suatu negara memungkinkan berpengaruh pada nilai tukar riil. Besaran (magnitude) effective terms of trade dalam mempengaruhi pasar nilai tukar dapat dikatakan terlalu kecil jika dibandingkan dengan varabel-variabel lain yang berkaitan dengan nilai tukar. Berdasarkan hasil estimasi dapat dikemukakan bahwa peningkatan atau perbaikan pada effective terms of trade suatu negara berdampak pada peningkatan (apresiasi) nilai tukar riil negara lain sebagai mitra dagang utamanya atau penurunan (depresiasi) nilai tukar pada negaranya sendiri. Dapat dikatakan pula bahwa perbaikan yang terjadi pada effective terms of trade suatu negara menguntungkan negara mitra dagangnya dari sisi nilai tukar, namun tidak untuk negaranya sendiri. Hal ini merupakan efek negatif keterbuk Perkembangan Perkembangan CADANGAN DEVISA, FINANCIAL DEEPENING DAN STABILISASI NILAI TUKAR RIIL RUPIAH AKIBAT GEJOLAK NILAI TUKAR PERDAGANGAN Abstract These papers analyze the influence of the international reserves and the financial deepening on the real exchange rate stabilization due to the terms of trade shock. The analysis covers 6 countries with quarterly data (Indonesia, United States, Japan, Hong Kong, Singapore and South Korea during the period of 2000.1 to 2006.4). This research utilizes the international reserves mitigation and the financial deepening mitigation model. This result shows that the reserves mitigation terms variable plays important role as the real exchange rate stabilization regarding the terms of trade shock in a common sample, but not in specific country. The mitigation effect associated with international reserves (buffer stock effect) applies only in South Korea. While for United State and Indonesia mitigation effect associated with international reserves opposite way. Even for Hong Kong, Japan and Singapore, the mitigation effect does not have significant induces real exchange rate stability. Furthermore, the financial deepening mitigation terms variable cannot be treated as the real exchange rate stabilization in a common sample, but not specific country. The mitigation effect associated with financial deepening (shock absorber effect) applies only in United States and Indonesian economic, while for South Korea the mitigation effect associated with the financial deepening works in opposite way. Even for Hong Kong, Japan and Singapore, the mitigation effect of financial deepening does not have significant induces real exchange rate stability. In Indonesian economic, the financial deepening is more effective than the international reserve to create the real exchange rate stability. The shock absorber effect in Indonesia is more effective than the buffer stock effect to stabilize the real exchange rate due to the terms of trade shock. JEL Classification: E44, F31, F32 Keywords: International reserves, buffer stock, financial deepening, shock absorber, terms of trade shock, real exchange rate. I. PENDAHULUAN Perkembangan ekonomi Indonesia dewasa ini menunjukkan semakin terintegrasi dengan perekonomian dunia. Hal ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem perekonomian terbuka yang dalam aktivitasnya selalu berhubungan dan tidak lepas dari fenomena hubungan internasional. Adanya keterbukaan perekonomian ini memiliki dampak pada perkembangan neraca pembayaran suatu negara yang meliputi arus perdagangan dan lalu lintas modal terhadap luar negeri suatu negara. Salah satu bentuk aliran modal yang masuk ke dalam negeri yaitu dapat berupa devisa yang berasal dari perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara tersebut. Meningkatnya ekspor suatu negara akan membawa keuntungan yaitu kenaikan pendapatan, kenaikan devisa, transfer modal dan makin banyaknya kesempatan kerja. Demikian pula meningkatnya impor suatu negara akan memberikan lebih banyak alternatif barang-barang yang dapat dikonsumsi dan terpenuhinya kebutuhan bahan-bahan baku penolong serta barang modal untuk kebutuhan industri di negara-negara tersebut dan transfer teknologi. Perdagangan internasional akan terjadi pada suatu perbandingan harga tertentu yaitu antara harga ekspor dan harga impor yang sering disebut nilai tukar perdagangan (terms of trade, TOT). Nilai tukar perdagangan besar sekali pengaruhnya terhadap kesejahteraan suatu bangsa dan juga sebagai pengukur posisi perdagangan luar negeri suatu bangsa. TOT yang disimbolkan dengan N dihitung sebagai perbandingan antara indeks harga ekspor (Px) dengan indeks harga impor (Pm) atau N = Px/Pm (Nopirin 1992: 71). Kenaikan N menunjukkan perbaikan di dalam Terms of Trade. Perbaikan terms of trade ini dapat timbul sebagai akibat nilai perubahan harga ekspor yang lebih besar realatif terhadap harga impor. Perbaikan terms of trade akan meningkatkan pendapatan negara tersebut dari perdagangan demikian sebaliknya. Selain mempengaruhi pendapatan negara, pergerakan TOT juga mempengaruhi nilai tukar riil, (Mankiw, 2000: 195). Upaya untuk mengatasi pengaruh memburuknya terms of trade terhadap nilai tukar ini dapat menggunakan cadangan devisa (international reserves) yang dimiliki negara yang bersangkutan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Aizenman and Crichton (2006), menyebutkan bahwa negara-negara yang mengekspor barang ­barang sumberdaya alam memiliki volatilitas terms of trade yang 3 kali lebih volatil dibandingkan negara-negara yang mengekspor barang manufaktur. Selain besaran pergerakan TOT, volatilitas ini juga mempengaruhi nilai tukar riil suatu negara Pada dasarnya international reserves berfungsi sebagai buffer stock untuk berjaga-jaga guna menghadapi ketidakpastian keadaan yang akan datang. Sehingga, apabila terjadi depresiasi nilai tukar riil akibat memburuknya terms of trade maka disitulah international reserves berfungsi sebagai penstabil. Perbaikan terms of trade akan meningkatkan aliran modal masuk sehingga akan kembali mendorong apresiasi nilai tukar riil. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Rajan dan Siregar (2004), diperoleh bahwa reserves merupakan kunci utama dari suatu negara untuk dapat menghindari krisis ekonomi dan keuangan. Terutama bagi negara-negara dengan perekonomian yang terbuka dimana aliran modal internasional adalah volatil atau rentan terhadap terjadinya shock yang merambat dari negara lain (contagion effect). Bahwa dengan melihat pengalaman krisis yang terjadi pada tahun 1997, negara yang memiliki reserves yang besar dapat menghindari contagion effect dari krisis dengan lebih baik dibandingkan dengan negara yang memiliki reserves yang kecil. Upaya untuk mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade shock selain dengan international reserves juga dapat diatasi dengan mengukur financial deepening (kedalaman sektor keuangan) suatu negara. Financial deepening diukur melalui rasio M2 dibagi GDP (Gross Domestic Product). Penggunaan rasio ini dikarenakan merupakan rasio paling umum yang digunakan untuk mengukur perkembangan sektor keuangan suatu negara. Hasil rasio ini akan menunjukkan rasio penggunaan M2 untuk menghasilkan setiap GDP. Semakin kecil dalam rasio tersebut menunjukkan semakin dangkal sektor keuangan suatu negara dan semakin besar rasio tersebut menunjukkan sektor keuangan negara tersebut semakin dalam. Suatu negara dengan rasio financial deepening yang besar cederung mengurangi peran international reserves sebagai penstabil nilai tukar riil. Hal ini dikarenakan negara dengan rasio financial deepening yang besar dapat dikatakan telah memiliki pertumbuhan ekonomi yang sudah baik sehingga negara tersebut dapat mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade shock dengan penyesuaian otomatis melalui mekanisme pasar, Aizenman dan Crichton (2006). Karakteristik Indonesia sebagai à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬  small open economyà ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   yang menganut sistem devisa bebas dan sistem nilai tukar mengambang (free floating) menyebabkan pergerakan nilai tukar di pasar rentan oleh pengaruh faktor ekonomi dan non-ekonomi. Untuk mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan maka pelaksanaan intervensi menjadi sangat penting terutama untuk menjaga stabilitas nilai tukar pada saat tertentu yang benar-benar dibutuhkan agar dapat memberikan kepastian bagi dunia usaha. Salah satu bentuk intervensi itu adalah dengan menggunakan international reserves dan ini sejalan dengan argumentasi Aizenman,dkk (2004) bahwa suatu negara yang menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas akan cenderung mengurangi permintaan international reserves-nya. Di Indonesia, Bank Indonesia sejauh ini berupaya untuk mengoptimalkan berbagai fasilitas atau insentif agar semakin banyak eksportir yang bersedia menyerahkan devisa hasil ekspornya ke Bank Indonesia (Goeltom dan Zulverdi, 1998). Bahkan dalam masa krisis pasar modal global 2008 ini, Bank Indonesia mewajibkan pengguna valas untuk melaporkan peruntukannya jika melebihi US$10.000 per bulan. Permasalahan mendasar yang diangkat dalam penelitian ini diantaranya: 1) Bagaimanakah pengaruh international reserves dalam perannya sebagai penstabil nilai tukar riil akibat terms of trade shock. 2) Bagaimanakah pengaruh financial deepening dalam perannya sebagai penstabil nilai tukar riil akibat terms of trade shock. Kedua permasalahan tersebut akan dibahas bagaimanakah pengaruhnya di keseluruhan obyek penelitian dan juga secara spesifik setiap Negara untuk memperoleh perbandingan antar Negara, khususnya antara Indonesia dengan Negara-negara mitra dagang utama (Amerika serikat, Jepang, Singapura, Korea Selatan dan Hongkong). II. TEORI II.1. International Reserves ≈The need of a central bank for international reserves is similar to an individual »s desire to hold cash balances (currency and checkable deposits)à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   (Carbaugh, 2004: 513). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kebutuhan international reserves bagi suatu negara mempunyai tujuan dan manfaat seperti halnya manfaat kekayaan bagi suatu individu. Motif kepemilikan international reserves dapat disamakan dengan motif seseorang untuk memegang uang yaitu untuk motif transaksi, motif berjaga-jaga dan motif spekulasi. Motif transaksi antara lain untuk membiayai transaksi impor yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendukung proses pembangunan, motif berjaga-jaga berkaitan dengan mengelola nilai tukar, serta motif yang ketiga adalah untuk lebih memenuhi kebutuhan diversifikasi kekayaan (memperoleh return dari kegiatan investasi dengan international reserves (Gandhi, 2006: 1). Jhingan (2001) menyatakan bahwa ≈International liquidity (generally used as a synonym for international reserves) is defined as the aggregate stock of internally acceptable assets held by the central bank to settle a deficit in a country »s balance of payments. International reserves merupakan asset dari bank sentral yang dipergunakan untuk mengatasi ketidakseimbangan neraca pembayaran. Definisi tersebut senada dengan konsep International Reserves and Foreign Currency Lliquidity (IRFCL) yang dikeluarkan oleh IMF bahwa international reserves didefinisikan sebagai seluruh aktiva luar negeri yang dikuasai oleh otoritas moneter dan dapat digunakan setiap waktu guna membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran atau dalam rangka stabilitas moneter 3. 3 Guidelines for International Reserves and Foreign Currency Liquidity, IMF, 2001. Sedangkan menurut Salvatore (1996: 513), bahwa international reserves merupakan asset-asset likuid dan berharga tinggi yang dimiliki suatu negara yang nilainya diakui atau diterima oleh masyarakat internasional dan dapat dipakai sebagai alat-alat pembayaran yang sah bagi pemerintah atau negara yang merupakan pemiliknya dalam mengadakan transaksi-transaksi atau pembayaran internasional. Selain untuk tujuan stabilisasi nilai tukar, terkait dengan neraca pembayaran international reserves dapat digunakan untuk membiayai impor dan membayar kewajiban luar negeri. Besar kecilnya akumulasi international reserves suatu negara biasanya ditentukan oleh kegiatan perdagangan (ekspor dan impor) serta arus modal negara tersebut. Kecukupan international reserves ditentukan oleh besarnya kebutuhan impor dan sistem nilai tukar yang digunakan. Dalam sistem nilai tukar yang mengambang bebas, fungsi international reserves adalah untuk menjaga stabilitas nilai tukar hanya terbatas pada tindakan untuk mengurangi fluktuasi nilai tukar yang terlalu tajam. Oleh karena itu, international reserves yang dibutuhkan tidak perlu sebesar international reserves yang dibutuhkan apabila negara tersebut mengadopsi sistem nilai tukar tetap. Wujud utama dari international reserves adalah emas, hard currencies yang pada umumnya dalam bentuk empat jenis mata uang utama yang dianggap paling berpengaruh di dunia, yaitu: US dollar, Euro, Poundsterling dan Yen serta surat-surat berharga terbitan IMF yang biasa disebut sebagai Special Drawing Rights (SDRs). Penjelasan lebih rinci mengenai komponen international reserves sebagaimana dijelaskan oleh Gandhi (2006: 4). Berkaitan dengan sifat dari rezim nilai tukar (sistem nilai tukar tetap, mengambang dan mengambang terkendali) di negara yang menganut sistem nilai tukar tetap pada umumnya memerlukan international reserves yang besar untuk mempertahankan nilai tukar pada level yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan oleh ketakutan negara itu akan ketidakpastian dalam sistem nilai tukar mengambang bebas yang diterapkannya. Sehingga, sebagai upaya untuk berjaga√jaga dalam menghadapi fluktuasi nilai tukarnya otoritas moneter negara tersebut membutuhkan international reserves dalam jumlah yang dianggap memadai guna stabilisasi nilai tukar. Pada sistem nilai tukar mengambang, terjadinya pergerakan nilai tukar dapat diatasi sendiri oleh mekanisme pasar, sehingga jumlah international reserves yang dibutuhkan tidak sebanyak yang dibutuhkan oleh suatu negara dengan sistem nilai tukar tetap yang rigid. Menurut Carbaugh (2004: 516), tujuan utama dari international reserves adalah untuk memfasilitasi pemerintah dalam melakukan intervensi pasar sebagai upaya untuk menstabilkan nilai tukar. Sehingga, suatu negara dengan aktivitas stabilisasi yang aktif memerlukan jumlah international reserves yang besar pula. Keterbukaan perekonomian suatu negara tercermin dengan semakin besarnya transaksi perdagangan dan aliran modal antar negara. Semakin terbuka perekonomian suatu negara kebutuhan international reserves-nya cenderung semakin besar guna membiayai transaksi perdagangan. Parameter yang biasa dipakai untuk mengukur kecukupan international reserves sehubungan dengan transaksi perdagangan antar negara adalah marginal propensity to import. Semakin besar angka propensity tersebut menunjukkan semakin besarnya kebutuhan international reserves yang harus dimiliki dan semakin kecil angka propensity tersebut menunjukkan semakin kecilnya kebutuhan international reserves yang harus dimiliki (Gandhi, 2006: 11). Dengan tersedianya international reserves yang mencukupi maka apabila suatu negara mengahadapi kondisi terms of trade yang buruk yang kemudian akan berpengaruh pada nilai tukar riilnya maka international reserves dapat berperan sebagai absorber. II.2. Nilai Tukar Perdagangan (Terms of Trade) Terdapat beberapa konsep tentang TOT. Konsep pertama merupakan konsep yang paling umum digunakan, yaitu net barter terms of trade atau juga dapat disebut commodity terms of trade. Net barter terms of trade adalah perbandingan antara indeks harga ekspor dengan indeks harga impor. Kenaikan ekspor menunjukkan perbaikan di dalam nilai tukar perdagangan, artinya untuk sejumlah tertentu ekspor dapat diperoleh jumlah impor yang lebih banyak dengan melalui hubungan harga (Nopirin, 1995: 71). Forumulasinya dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut: (III.1) Dimana, Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan 100 adalah Indeks tahun dasar. Bila N >100 atau terjadi kenaikan net barter terms of trade maka berarti terjadi perkembangan perdagangan luar negeri yang positif karena dengan nilai ekspor tertentu diperoleh nilai impor yang lebih besar (Hady, 2001:77). Konsep kedua adalah gross barter terms of trade, merupakan perbandingan antara indeks volume impor dengan indeks volume ekspor. Konsep ini menjadi tidak penting karena kurang memberikan gambaran tentang perubahan harga. Oleh karena itu, apabila konsep terms of trade tanpa diberi penjelasan apa-apa maka yang dimaksud adalah konsep net barter terms of trade. Konsep ketiga adalah income terms of trade yang dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut : (III.2) Dimana: N adalah net barter terms of trade; Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan Qx adalah Indeks kuantitas ekspor. Berdasarkan konsep ini, kenaikan income terms of trade menunjukkan bahwa suatu negara dapat memperoleh jumlah impor yang lebih besar dengan dasar kenaikan nilai ekspornya. Bagi negara-negara yang sedang berkembang, selain variabel harga juga sangat penting untuk menilai terms of trade ini dengan mempertimbangkan volume ekspornya karena kenaikan harga ekspor yang tinggi mungkin diimbangi dengan turunnya volume ekspor. Perbaikan TOT dapat timbul sebagai akibat: (1) harga ekspor naik sedang harga impor tetap; (2) harga ekspor tetap sedang harga impor turun; (3) harga ekspor naik dengan proporsi yang lebih besar daripada naiknya harga impor; (4) harga ekspor turun dengan proporsi yang lebih kecil daripada turunnya harga impor. Mekanisme bagaimana TOT dapat berpengaruh pada nilai tukar riil adalah dapat dilihat dari sebuah mekanisme sederhana yaitu perbaikan TOT akan meningkatkan aliran modal masuk yang berasal dari perdagangan yang selanjutnya dapat mengapresiasi nilai tukar riil dan sebaliknya. Memburuknya TOT akan mengakibatkan permintaan valuta asing meningkat sehingga akan mendepresiasi nilai tukar riil. Terkait dengan jenis produksi yang diperdagangkan, maka secara umum nilai tukar perdagangan komoditi (commodity terms of trade atau net barter terms of trade) negara ­negara berkembang cenderung mengalami kemerosotan dari waktu ke waktu. Salah satu penyebab utamanya adalah sebagian besar atau bahkan semua kenaikan produktivitas yang terjadi di negara-negara maju dialirkan ke para pekerjanya dalam bentuk upah dan pendapatan yang lebih tinggi, sedangkan sebagian besar atau seluruh kenaikan produktivitas yang berlangsung di negara-negara berkembang diwujudkan sebagai harga-harga produk yang lebih murah (Salvatore, 1996 : 431). II.3. Nilai Tukar Riil (Real Exchange Rate) dan Pasar Valas Setiap negara memiliki sebuah mata uang yang menunjukkan harga-harga barang dan jasa. Pengertian nilai tukar valuta asing adalah ≈Exchange rate is the price of one nation »s money in terms of another nation »s money.à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   ≈The nominal exchange rate is usually called the exchange rateà ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬  . Menurut definisi tersebut nilai tukar diartikan sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar nominal biasa disebut nilai tukar (exchange rate) (Pugel, 2004). Menurut Mankiw, nilai tukar nominal adalah harga relatif dimana seseorang dapat memperdagangkan mata uang suatu negara dengan mata uang lainnya (Mankiw, 2000: 200). Dengan menggunakan suatu indeks harga untuk Indonesia (P), sebuah indeks harga untuk harga-harga di luar negeri (P*) dan nilai tukar nominal antara rupiah dengan mata uang asing (e), akan dapat diukur nilai tukar riil keseluruhan antara Indonesia dengan negara-negara lain sebagai berikut : Nilai Tukar Riil = (e x P) / P* (III.3) Terdapat paling tidak 3 faktor utama yang mempengaruhi permintaan valuta asing. Pertama, faktor pembayaran impor. Semakin tinggi impor barang dan jasa, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga nilai tukar akan cenderung melemah. Kedua, faktor aliran modal keluar (capital outflow). Semakin besar aliran modal keluar, maka semakin besar permintaan valuta asing dan pada kelanjutannya akan memperlemah nilai tukar. Aliran modal keluar meliputi pembayaran hutang penduduk Indonesia (baik swasta dan pemerintah) kepada pihak asing dan penempatan dana penduduk Indonesia ke luar negeri. Ketiga , kegiatan spekulasi. Semakin banyak kegiatan spekulasi valuta asing yang dilakukan oleh spekulan, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga memperlemah nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing. Sementara itu, penawaran valuta asing dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, faktor penerimaan hasil ekspor. Semakin besar volume penerimaan ekspor barang dan jasa, maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara dan pada lanjutannya nilai tukar terhadap mata uang asing cenderung menguat atau apresiasi. Kedua, faktor aliran modal masuk (capital inflow). Semakin besar aliran modal masuk, maka nilai tukar akan cenderung semakin menguat. Aliran modal masuk tersebut dapat berupa penerimaan hutang luar negeri, penempatan dana jangka pendek oleh pihak asing (portofolio investment) dan investasi langsung pihak asing (foreign direct investment) (Simorangkir dan Suseno, 2004: 6). II.4. Financial Deepening Ukuran dari perkembangan intermediasi keuangan biasanya digunakan pengukuran indikator melalui kuantitas, kualitas, dan efisiensi dari jasa intermediasi keuangan (Calderon, 2002:5). Terdapat beberapa indikator untuk mengetahui seberapa besar tingkat perkembangan sektor keuangan salah satu diantaranya adalah rasio antara aset keuangan dalam negeri terhadap GDP (Muklis, 2005: 2). Menurut King dan Levine (1993), ≈Financial deepening means an increase in the money supply of financial assets in the economy, it is important to develop some measures of the widest range of financial assets, including money.à ¢Ã‹â€ Ã¢â‚¬   Selain itu, King dan Levine merancang 4 ukuran dalam perhitungan perkembangan sektor keuangan. Pertama, ukuran dari kedalaman sektor keuangan adalah rasio dari kewajiban lancar (liquid liabilities) dari sistem keuangan terhadap GDP. Kewajiban lancar dalam hal ini adalah M3, namun apabila M3 tidak bisa didapatkan maka digunakan M2. Hal ini sejalan dengan IMF dalam database International Financial Statistic dan juga Slangor (1991:11). Kedua , adalah rasio dari deposit money bank domestic asset dibagi dengan deposit money bank domestic asset ditambah dengan central bank domestic asset yang menggambarkan institusi keuangan yang lebih spesifik. Ketiga , rasio kredit dari sektor swasta non keuangan dibagi dengan total kredit domestik. Keempat, adalah rasio kredit sektor swasta non-keuangan dibagi dengan GDP. Dua yang terakhir ini menggambarkan ukuran kuangan sektor dan tingkat pinjaman publik (King dan Levine, 1993: 4). Penggunaan rasio M2 terhadap GDP sebagai indikator financial deepening juga dibenarkan oleh King dan Levine, (1993: 5). Semakin kecil rasio tersebut maka semakin dangkal sektor keuangan suatu negara. Suatu negara dikatakan memiliki sektor keuangan yang dalam apabila M2 > 20% dari GDP dan dangkal apabila M2 III. METODOLOGI Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan merupakan data panel, mencakup periode 2000:Q1 2006:Q4 dan 6 negara yakni Indonesia dan 5 negara mitra dagang utamanya yaitu; Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, Singapura dan Korea Selatan. Sumber utama data berasal dari International Financial Statistic yang diterbitkan oleh IMF. Teknik estimasi data panel digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh international reserves yang digunakan dalam rangka stabilisasi nilai tukar akibat terms of trade shock. Selain itu model ini juga diperunakan untuk melihat bagaimana peran financial deepening suatu negara dalam stabilisasi nilai tukar ini. Model persamaan yang diestimasi, dikembangkan dari penelitian (Aizenman dan Crichton, 2006), yakni: 1. Model international reserves mitigation terms : (III.4) 2. Model financial deepening mitigation terms : Dimana : RER adalah nilai tukar riil (Real Exchange Rate); ETOT adalah efektifitas nilai tukar perdagangan yang dinilai dari keterbukaan perdagangan (Trade Openness) yang dikalikan dengan nilai tukar perdagangan (Terms of Trade); RES adalah cadangan internasional (International reserves); FD adalah kedalaman sektor keuangan (Financial Deepening); i adalah crossection indentification; t adalah time series identification; ÃŽ µit adalah Koefisien pengganggu (error terms) 4. Varian pertama dari teknik estimasi data panel adalah pendekatan pooled least square (PLS) yang secara sederhana menggabungkan seluruh data time series dan cross section dan kemudian mengestimasi model dengan menggunakan metode ordinary least square (OLS) 5. Pendekatan kedua adalah fixed effect model (FEM) yang memperhitungkan kemungkinan perbedaan intercept antar individu yang ditunjukkan dengan kehadiran ÃŽ ±i pada persamaan (III.6). Secara teknis, model dengan fixed effect menambahkan dummy variables sebanyak N-1 buah ketika terdapat N individu. Pendekatan ketiga adalah random effect model (REM) yang dapat memperbaiki efisiensi proses least square dengan memperhitungkan error dari time series dan cross section. Berbeda dengan FEM, model REM memperlakukan intercept sebagai random variable dengan rata-rata ÃŽ ± dengan stokastik terms ÃŽ µit. Model random effect adalah variasi dari estimasi generalized least square (GLS). Model data panel untuk masing-masing varian teknik tersebut adalah sebagai berikut (Gujarati, 2003: 640): a. Pooled Least Square (III.6) b. Fixed Effect (III.7) c. Random Effect (III.8) Pada dasarnya penggunaan metode data panel memiliki beberapa keunggulan (Widarjono, 2005: 254). Pertama , panel data mampu memperhitungkan heterogenitas individu secara eksplisit dengan mengijinkan variabel spesifik individu. Kemampuan mengontrol heterogenitas 4 Definisi operasional variabel lebih detail dapat dilihat dilampiran IV.A. 5 Lihat: Baltagi, 2002 ; Gujarati, 2003 ; Maddala ; 1993 ; Pindyck dan Rubinfeld, 1998. individu ini pada gilirannya menjadikan data panel dapat digunakan untuk menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Kedua, jika efek spesifik signifikan berkorelasi dengan variabel penjelas lainnya, penggunaan panel data akan mengurangi masalah omitted variables secara substansial. Ketiga , data panel mendasarkan diri pada observasi cross section yang berulang-ulang (time series), sehingga metode data panel cocok untuk digunakan sebagai study of dynamic adjustment. Keempat, tingginya jumlah observasi memiliki implikasi pada data yang lebih informatif, lebih variatif, kolinearitas antar variabel yang semakin berkurang dan peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom), sehingga dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih efisien. Kelima, data panel dapat digunakan untuk mempelajari model-model perilaku yang kompleks. Keenam, data panel dapat meminimalisir bias yang mungkin ditimbulkan oleh agregasi data individu. Keunggulan-keunggulan tersebut diatas memiliki implikasi pada tidak diperlukannya pengujian asumsi klasik dalam model data panel, sesuai apa yang ada dalam beberapa literatur yang digunakan dalam penelitian ini6. Dalam estimasi selanjutnya sebagai persyaratan estimasi regresi data panel, perlu di pilih penggunaan antara pooled least square, random effect model atau fixed effect model. Ketiga model tersebut akan berbeda dalam intrepetasi selanjutnya sehingga perlu dilakukan pemilihan model untuk memperoleh estimasi yang efisien sesuai dengan penggunaan regresi data panel. Pertama uji statistik F digunakan untuk memilih antara metode PLS tanpa variabel dummy atau memilih Fixed Effect. Kedua uji Lagrange Multiplier (LM) digunakan untuk memilih antara OLS tanpa variabel dummy atau memilih Random Effect. Terakhir , untuk memilih antara Fixed Effect Model (FEM) atau Random Effect Model (REM) digunakan uji yang dikemukakan oleh Hausman. Jika data time series lebih besar dibandingkan data cross section maka teknik efek acak (REM) kurang tepat atau tidak dapat dipakai untuk mengestimasi suatu model (Telisa, 2004:30)7. Dalam model penelitian ini teknik Random Effect Model (REM) tidak dapat digunakan, karena pada penelitian ini jumlah time series (28 time series) lebih besar dibandingkan dengan jumlah cross section (6 cross section). Oleh sebab itu pemilihan teknik estimasi dalam penelitian ini hanya memilih diantara dua teknik estimasi yaitu PLS (Pooled Least Square) atau FEM (Fixed Effect Model). Hasil pengujian menyarankan penggunaan Model Fixed Effect (Unrestricted) dalam penelitian ini. 6 Lihat: Maddala, 1998; Pindyck Rubinfeld, 1991; Greene, 2003; Gujarati, 2003; Widarjono, 2005. 7 Ibid IV. HASIL DAN ANALISA IV.1. Model International Reserves Mitigation Terms Berdasarkan hasil pengolahan data dalam tabel III.1. koefisien determsinasi model International Reserves Mitigation Terms untuk keseluruhan negara adalah sebesar 0.999602 sedangkan untuk estimasi spesifik masing-masing negara adalah sebesar 0.999845. Artinya variasi variabel independen dalam model tersebut mampu menjelaskan variasi dari variabel dependen kedua model tersebut masing-masing sebesar 99,96% dan 99,98%. Secara simultan, variabel-variabel yang digunakan dalam estimasi keseluruhan maupun estimasi spesifik memiliki pengaruh yang signifikan, kondisi tersebut dapat diketahui dari nilai Fyang masing-masing sebesar 57441.05 dan 57032.28. Nilai tersebut melebihi nilai kritis yang dipersyaratkan sesuai dengan F-tabel hingga taraf signifikansi 1%. Dengan demikian nilai F> Fyang berarti H ditolak. Secara parsial sebagaimana terdapat dalam tabel dibawah menunjukkan pengaruh masing-masing variabel bebas yang signifikan terhadap variabel nilai tukar riil (variabel dependen) pada estimasi secara keseluruhan. Namun untuk estimasi spesifik masing-masing negara hanya variabel effective terms of trade Indonesia, reserves mitigation terms Indonesia, Korea dan Amerika yang signifikan secara statistik mempengaruhi vriabel real exchange rate. Sumber: Hasil pengolahan Keterangan: * = Signifikan 1%; **=Signifikan 5%. Dari estimasi secara keseluruhan dalam tabel diatas terlihat bahwa pengaruh effective terms of trade (ETOT) terhadap real exchange rate (RER) adalah positif. Temuan empiris ini tidak sesuai dengan teori yang digunakan dalam penelitian, yaitu diharapkan bernilai negatif. Dengan asumsi bahwa peningkatan real exchange rate merupakan depresiasi nilai tukar domestik atau apresiasi nilai tukar mitra dagang, maka peningkatan pada effective terms of trade suatu negara terhadap negara-negara mitra dagangnya cenderung meningkatkan (depresiasi) real exchange rate. Rata-rata effective terms of trade keseluruhan negara obyek penelitian adalah 1,82, dengan perubahan pada real exchange rate rata-rata apresiasi sebesar 0,04%. Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa elastisitas real exchange rate terhadap effective terms of trade shock ialah kenaikan effective terms of trade sebesar 1% mempengaruhi real exchange rate sebesar 0.28%. Dapat diartikan bahwa perbaikan effective terms of trade akan menyebabkan mata uang luar negeri mengalami apresiasi terhadap mata uang dalam negeri. Kondisi demikian menggambarkan bahwa keterbukaan perdagangan memiliki sisi negatif yaitu kecenderungan untuk melemahkan nilai tukar suatu negara ketika terjadi penurunan kinerja perekonomian negara mitra dagang tersebut dan dengan dukungan trade openness dan effective terms of trade yang semakin meningkat. Kondisi ini secara aktual dapat digambarkan pada resesi global pada saat ini yang hampir tidak sedikitpun negara yang menuai imbas negatif. Hampir seluruh perekonomian dunia termasuk nilai tukarnya cenderung terdepresiasi dan perekonomian berjalan lambat. Ketidaksesuaian hasil ini dimungkinkan juga dikarenakan kekuatan pasar yang mempengaruhi fluktuasi nilai tukar. Aliran modal jangka pendek, aliran keuangan internasional baik dari pemerintah maupun swasta yang erat kaitannya dengan keterbukaan perekonomian suatu negara memungkinkan berpengaruh pada nilai tukar riil. Besaran (magnitude) effective terms of trade dalam mempengaruhi pasar nilai tukar dapat dikatakan terlalu kecil jika dibandingkan dengan varabel-variabel lain yang berkaitan dengan nilai tukar. Berdasarkan hasil estimasi dapat dikemukakan bahwa peningkatan atau perbaikan pada effective terms of trade suatu negara berdampak pada peningkatan (apresiasi) nilai tukar riil negara lain sebagai mitra dagang utamanya atau penurunan (depresiasi) nilai tukar pada negaranya sendiri. Dapat dikatakan pula bahwa perbaikan yang terjadi pada effective terms of trade suatu negara menguntungkan negara mitra dagangnya dari sisi nilai tukar, namun tidak untuk negaranya sendiri. Hal ini merupakan efek negatif keterbuk

Friday, October 25, 2019

Emily Dickinson, TS Eliot, Robert Frost Essay -- Informative, Authors

The three authors that I chose were Emily Dickinson (1830-1886), TS Eliot (1888-1965), and Robert Frost (1874-1963). I chose them because first they all were born in the eighteen century and most of their writings dealt with death and dying. I do not believe the elements that Emily Dickinson would be a good source for me to incorporate into my writing because with her writings I found them very hard to understand, possibly because of the timeline or the fact that she wrote in such a secretive code with words. If we have some familiarity with these means, or formal elements of poetry, our understanding and enjoyment of the poem will be greatly increased (Charters page 762). There were very few of her poems that I could understand or even enjoy reading, I felt a sense of bleakness, despair, loneliness in most of the poems that she wrote. In her poem â€Å"She died—this was the way she died. There was the use of eye rhyme (Charters page 764) when she used the word spied and ended the poem by saying â€Å"upon the mortal side†. Also in her poem I’m nobody! Who are you? Sounds as if she also had a low self esteem by stating that she was a nobody. Today, in the 20th century if a person wrote words as such they would probably be diagnosed with depression with suicidal ideology, mostly because of the poems â€Å"I felt a funeral in my brain, and There’s been a death in the opposite house† all very bleak and gloomy. The best poem of Emily Dickinson to me would be the one â€Å"I never saw a moor† because I like the rhythm of the poem and can completely agree with the direction that the poet is taking the readers and once again I can see eye rhyme (Charters Page 764) with the words Heaven and given within the poem. I actually really enjoye... ...ll become old and to remember our youth, don’t take it for granted. Also, his poem â€Å"To Earthward† was a mixture of lyric poetry (Charters page 811), ode (Charters page 815) and alliteration (Charters page 762). The examples of this mixture would be the use of the words: musk, dusk, honeysuckle, knuckle, salt, fault, love, clove, hand, sand, enough and rough. His writings were not as dreadful and bleak as Emily Dickinson’s poems. The poem â€Å"Stopping by Woods on a Snowy Evening† was easy to read with a constant rhythm, and there was no question what he was talking about. I believe if I was to choose any of the above writers and incorporate their unique form of writing into my own would be Robert Frost because of his direct approach, the tone that he used, and the rhythmic way he put his words together to make it work for the poem and the audience.

Thursday, October 24, 2019

Kolb Learning Styles Essay

David Kolb’s theory of learning styles is one of the best known and widely applied and it suggest that learning is a cyclic process which involves an individual proceeding through each of the following four stages and will eventually prefer and rely upon one style more than the others. The four styles are: Divergers, Convergers, Accommodators and Assimilators. Research has shown that these four styles have different names along with the ones mentioned above, they are: Divergers is also called Reflective observation Convergers is also called Active experimentation Accommodators is also called Concrete experience Assimilators is also called Abstract conceptualization   Let us take a look and see how the knowledge of each one can be applied to the role of being students working individually and as a group. Divergers/Reflective observation – Divergers like to think before they talk and they research and analyze a situation before giving their own personal opinion. They like to investigate and are able to view situations from many angles which allows them to recognize problems. A lot of times a Diverger would rather sit back, listen and watch, be imaginative and open to xperience, being very thoughtful of everyone’s ideas. Convergers/Active experimentation – Convergers think about things, use theories to solve problems and then try out their ideas to see if they work in practice. They like to ask ‘how’ about a situation, understanding how things work in practice. They like facts and will seek to make things efficient by making small and careful changes and look at alternative ways of doing something. They prefer to work by themselves, thinking carefully and acting independently. They learn through interaction and computer-based learning is more effective with them than other methods. Accommodators/Concrete experience – Accommodators prefer to be involved in new experiences, have a hands-on approach and learn through trial and error. They like a practical experimental approach, are able to adapt to circumstances and like to set objectives and schedules. Assimilators/Abstract conceptualization – Assimilators want to be more logical, they really see no need to give their own personal views, they would rather think it through and do research. They will also learn through conversation that takes a logical and thoughtful approach. They prefer lectures for learning, with demonstrations where possible, will respect the knowledge of experts. In addition they often have a strong control need and prefer the clean and simple predictability of internal models to external messiness. This style is used in schools most of the time along with corporations. After researching these four different styles I was able to compare them to four different individual experiences. One of my friends likes the assimilator approach for her school work, she likes to know the facts before she does anything. She is also going to share the knowledge she has gained from this assignment with her cousin who falls into the category of a Converger and tends to fail with her experiments. Another one of my friends believes that she is a Diverger, she would rather listen, gather data and analyze a situation and give feedback. She is very thoughtful of everyone’s ideas and puts their feelings and thoughts into consideration. I also onsider myself a combination of the Accommodator and Converger, I learn best by the hands-on experience and looking at different ways of doing things. In conclusion, I feel that it is very beneficial for a person to know their style of learning for the following reasons: if you know this about yourself you are able to pinpoint your weaknesses so that you may work on them to help better your studying habits, you can apply your specific style to the task at hand whether it would be finding a book or article to read, a video to watch, a tape to listen to or solve it by trial and error. You may also notice how others work differently and understand that individual more so that it will be a better work and study environment. Not only does this help when studying individually, it is a great benefit when participating in a group or team because when working in a group or team you have a combination of styles so the participants will have a different opinion of the topic depending on how they view the topic. Along with different views of a topic, if you know your learning style you could share that with them and they may be able to make adjustments to accomodate you style of learning, especially if you are having problems grasping the topic, idea or concept. The importance of learning style stems from the notion that teaching, if it is to be effective, should be tailored to the preferred learning style of the learner(s). If teaching is not aligned to the learning preferences of learners, it is unlikely that the teaching will be effective, or at least not as effective as it could be.

Wednesday, October 23, 2019

DCQ Sontag Essay

Photography shows us the world, but only the world the photographer creates. According to Sontag, photos show that we understand through a photo in the way we see the picture. Seeing photos can limit our understanding because we only see the picture not whats going on around it. In other words the viewer only sees what’s within the frame. Images allowed us to see situations that occurred; however, it is extremely limited in what the audience can see. I qualify Sontag’s claim that photography limits our understanding of the world because nothing is picture perfect. A picture is just a snapshot or quick image of something distorted. Photography has accomplished the task of manipulation to the point where images do not exhibit the honesty. In general photography is used to trick the audience’s eyes. For example, ads are displayed every day in our lives distorting the honesty portrayed. Long ago when a cigarette commercial came on they had enhanced the color, and edited all the little details that appeals to our emotions, making cigarettes look good. The only problem is cigarette isn’t good for anyone, but the viewers wouldn’t get that message due to the changes the photographers have made. Following this further Sontag infers that nothing that comes from a photo can really be understood. The reason for that is because photography shows everything but context. Photography gives people a small glimpse of reality, but the realities have been manipulated to the photographer’s idealism. However as Sontag pointed out photography takes the gaps in our mental pictures and replaces them. Photograph gives proof and confirms the past, but it does not exhibit the honesty a citizen would have lived through. For example if no pictures were captured during the Holocaust time period, it would be hard for people to believe that all the torturing actually occurred. Images allowed us to get a glimpse of what the Jews went through but the feelings and emotions aren’t the same. One cannot say they truly understand how the Jews felt, without actually experiencing what the Jews did. It takes one to be there to experience the emotions and tears the Jews had as the gas killed them and family. Sontag says understanding can only come from what is shown.. There is much  more to life than what meets the eye, and this can be exemplified and proved in many different ways. Pretend that someone knows nothing about the tragic events that occurred on September 11, 2001. A photo is placed in front of Them. They take a look. It appears to be a man dressed in what appears to be in work clothes but the thing that strikes their attention first, the thing that stands out most is that he is upside down. Odd they think. The background behind the man is what looks to be a steel like structure. Maybe if their senses are sharp that day you’ll come to the conclusion that this is an image of a man who decided to end his life by jumping off the top of a tall building while in midair. However, did the photograph show them what was going on around him? The building he jumped off of? A hijacked commercial airlines plane crashed into it leaving the building to go up in flames and ready to collapse with smoke pouring out the windows. Leaving him and at least 1,000 other people trapped on the high floors of the tower. This man, this falling man, was surrounded by absolute chaos, destruction, death, a living hell, but they would never know. He looks so calm, so serene even though he is more than well aware that his life is about to end in a matter of seconds. To the person looking at the photo they only see it as Sontag says they do. Through what they see in the picture, not what is really occurring. To an extent, yes, photography does limit us in the view of the world like Sontag refers to. Pictures are taken by photographers who chose what they wish to express and how they wish life to appear to be. By doing this, reality has changed, becoming manipulated into something that it truly is not. It is now a reality created from the human mind, influenced by its wants, desires and emotions. Photography also fails to give us background, or deeper knowledge about the photo. Pictures lack the emotion experienced by the person taking the picture (how hard it may have been to get the picture the photographer wanted). Yet pictures can sometimes invoke an emotional response (a gruesome death, a spectacular sunset). Pictures lend to a greater understanding of what is happening around the world. When someone sees the faces of others in places they never will travel to, they start to understand the emotion they show. Words sometimes can not do justice to the things you are able to see. Pictures only help the reader  better understand his/her meaning of what is actually taking place. Yet, do not be fooled by everything you see today. Technology has taken photography to a new level. Make certain you trust your source first. The old saying â€Å"Believe only half of what you see and nothing that you hear† no longer rings true. Be skeptical, but keep your eyes and mind open at the same time. Qualifying Sontag, a single photograph of an event, place, time or whatever will only give you a limited perspective of that event, place or whatever. However it does not limit our understanding of something. It simply gives a single viewpoint or snapshot for us to base an overall understanding. Susan Sontag claims in her passage, â€Å"On Photography†, that photography limits our understanding of the world. However, the truth is that photography enhanced our understanding of the world. It allows us to see things that would be otherwise impossible to see. Sontag argues that photography does not allow people to truly understand things and that it does not teach any ethical or political knowledge. The truth is that it deepens our understanding and expands our knowledge of the world around us. Without photography, people would have no idea of what surrounded them and what happened before their time. Photography produces a visual history of the world, thus producing a greater appr eciation for it.

Tuesday, October 22, 2019

Free Essays on Lady With The Ped Dog

. Oates creates Anna as a simple woman without respect for herself, a woman insane with love. Chekhov and Oates’s approach towards this point of view were both convincing and realistic. Chekhov’s ability to place all the emphasis on the emotional stability and instability of Gurov’s thoughts and emotions give the reader a more in-depth sense of the confusion involved in his situation. Chekhov’s use of the third person narrator enhanced the story. If Chekhov had approached this story from a different perspective, we would not have the full effect of the masculinity involved in the emotional bondage between a man and woman. For example, if Gurov’s wife would have been the consciousness of the story we would have felt her pain and suffering, thus leaving us with more despise for Gurov. However, only given Gurov’s perspective we can empathize with his innocent love for this woman Anna. Oates approach also would not have... Free Essays on Lady With The Ped Dog Free Essays on Lady With The Ped Dog Point of View in Chekhov’s and Oates’s â€Å"The Lady with the Pet Dog† Anton Chekhov and Joyce Oates both approached this short story from the third-person narrator. The main difference is how Chekhov entertained the male perspective of love while Oates indulged in the weakening aspect of the feminine side. Chekhov used a limited omniscient narrator who only knows Gurov’s inner thoughts and feelings. He reveals the point of view by not including any feminine thoughts and emotions throughout the story only a mere poetic aspect of Anna. Chekhov tells his story from the eyes of a man looking at a beautiful woman, smart, with a soft voice. He makes her so perfect that you forget that their love was sinful, but more innocent. On the same aspect, Oates uses a limited omniscient narrator who focuses on Anna as being the center of consciousness. She reveals the point of view by alienating the thoughts to only Anna. The reader is only able to interpret the thought s and emotions of the lover only through his own words. Oates creates Anna as a simple woman without respect for herself, a woman insane with love. Chekhov and Oates’s approach towards this point of view were both convincing and realistic. Chekhov’s ability to place all the emphasis on the emotional stability and instability of Gurov’s thoughts and emotions give the reader a more in-depth sense of the confusion involved in his situation. Chekhov’s use of the third person narrator enhanced the story. If Chekhov had approached this story from a different perspective, we would not have the full effect of the masculinity involved in the emotional bondage between a man and woman. For example, if Gurov’s wife would have been the consciousness of the story we would have felt her pain and suffering, thus leaving us with more despise for Gurov. However, only given Gurov’s perspective we can empathize with his innocent love for this woman Anna. Oates approach also would not have...

Monday, October 21, 2019

Family and Sense Essay

Family and Sense Essay Family and Sense Essay How Migrant Hostel relates to belonging? Migrant hostels, like the one described in this poem, were old army camps with dormitory style accommodation. Men and women were not housed together. The migrants Skrzynecki depicts in the poem are those who came to Australia after World War 2 at the invitation of the government. There is a tone of bitterness in the poem, as these migrants were separated and isolated from the rest of the population even though they were actually invited to come to Australia. It is this separation that brings about feelings of isolation and lack of belonging in their new country. The bitterness is further highlighted by the fact that these migrants were helping Australia to recover after the war, and they were treated so appallingly. The shared memories and common culture connect them. How 10 Mary Street relates to belonging? The scenes of domestic joy and comfort in this poem represent the sense of belonging the family feels while living at 10 Mary Street. The family experience belonging in the home because it is where they can express their true selves and their culture. The house provides the security for the family to enjoy their time together. There are scenes of the poet’s parents nurturing the garden while their son greedily enjoys the fruits of their labour when he eats too many strawberries and peas. The family lived in the house for 19 years, and during that time shared many happy times with family and friends. It was in the house that they could celebrate their homeland and truly express their culture, which that may have needed to suppress when they were in the outside world either and school or work. It is with some bitterness that the poet alludes to the forthcoming destruction of the house to make way for industry. There is a sense here that no amount of time will allow this family to feel a lasting sense of security and belonging How St Patricks College relates to belonging? This poem explores the effects of schooling on an individual’s sense of self. The poet’s mother chose St Patrick’s College for her son’s education as she is impressed by the uniform of her employer’s son, although she seems to have known little about what the school would mean for her son. However, the poet’s mother would like both her son and herself to belong to a particular social group which she considers significant. From the poet’s first day at school, he feels oppressed by the watching eyes of ‘Our lady’ and contempt for the motto ‘let your light shine’. Despite catching the bus to school for eight years, the poet still feels like he didn’t belong- it is with some irony that the poet describes being ‘privileged’ to wear the uniform. When he leaves school the poet is surrounded by darkness and feels that the schooling his mother

Saturday, October 19, 2019

African Americans in Pop Culture Essay Example for Free

African Americans in Pop Culture Essay African American (597) , African (466) , Pop Culture (18) , Funk (4) Haven't found the essay you want? Get your custom sample essay for only $13.90/page ? African Americans have had an incredible lasting impression on popular culture. African American singers, artists, entrepreneurs, athletes and actors have all had their say and have really stood out within the past few years. They’ve also grown and not grown in different ways all around from music, to television, to movies. African American stereotypes still exist in all aspects of pop culture, while many are trying to get away from what audiences assume is the typical black person. African Americans have been fighting for and against their own stereotypes when they started breaking out into music, then branching out into television, and making it big in the film industry. They’ve gone from being the dumb, uneducated, and underprivileged minority of America, and have started to make themselves more known as gang bangers and thugs, which are often seen as heroes in popular culture. African Americans haven’t only made a name for themselves or left a footprint in only their culture, but in American culture all around. African Americans have been making their mark in music all throughout history. Many started with the jazz and bebop rebellion during the 1940s and ’50s in Detroit. They made their point by trying to be different. They didn’t want to follow the typical white, swing music criteria, and that’s exactly what happened. Bebop wasn’t so mainstream, and that’s what made it their own. They preferred small, unique combos to play instead of big named stars in the music industry. Detroit was shedding light on the working class people of the town and wanted to really make a sound for them. â€Å"The 1940s created an â€Å"afro-modernism,† a response to the urbanization, industrialization, and modernization of African American Culture. † Because of their movement ahead in music, they also made their movement in business. And so emerged an incredibly successful, black capitalist enterprise, Motown Records, founded by Barry Gordy. Along with the movement in Detroit, the Harlem Renaissance had happened even before all the rage for jazz and bebop, which raised awareness to the visual arts, which led to even more developments in music. And even earlier at the beginning of the 20th century, blacks were starting to be accepted into acclaimed schools to study music and they were allowed to join the base of white people in symphony orchestras. During the ’50s, doo-wop and soul music became popular. That’s when legends like Ray Charles emerged and paved the way for others. Soul music remained popular among blacks for long after the pop sounds started to wave through. By the end of the decade and moving into the ’70s, blacks were starting to crossover into the typical white music trends. Psychadelic music had become popular. Jimi Hendrix, along his wah-wah pedal innovation, became one of the most popular guitarists during the era. Right after that, soul had become the popular music in the black community and was starting to revolutionize African-American music. Soul had continued success in popularity during the ’70s, but the ’70s also brought along a rise in black bands. White people were listening to country, disco, and all sorts of rock music, while the African-Americans had their funk, pop, soul, and jazz music that was on a totally different spectrum from their white counterparts. The ’70s was also when Djs started mixing their own beats and playing their funk records the way they wanted to so they could get their audience to dance. And with the beats produced by Djs along with the poets who would read their poems to those beats, came the emergence of hip hop music. The era of hip hop music was a new revolution in African American popular culture. African Americans in Pop Culture. (2016, Dec 17).

Friday, October 18, 2019

White Privilege and the Myth of Meritocracy-Diversity in Organizations Essay

White Privilege and the Myth of Meritocracy-Diversity in Organizations - Essay Example The discussion is also made in the additional contexts of the questions that are required to be answered relating to white privileges that have relevance with regard to organizational diversity; white privileges from the vantage point of non-white minority groups; how discrimination fosters white privileges and whites’ perception of their own capabilities and merits; the use of the terms qualified minorities, qualified whites, and qualified women; gender-based privileges; the relationship between wealth and privileges (Bell, 2011; pp. 223-256; McIntosh, 1990; McIntosh, 2009; McNamee and Miller, 2004; Unz, 2012). Discussion Whites here refer to the ethnic groups that fall under the umbrella of non-Hispanic white and have roots in Europe, or else are from North Africa or the Middle East. They include those who self-report being white, or else report themselves to be one or other of the following: Arab, Irish, Polish, Lebanese, Italian, German, or from the Near East. This is also the definition espoused by the US Census Bureau, and forms the basis of the definition for the paper (Bell, 2011, p. 225). By white privileges is meant those privileges that accrue to Whites in America by virtue of the social conventions that work on either positively discriminating whites based on their color to confer special work, consumption, and other social privileges, or to negatively discriminate against non-whites to effectively put whites in positions of economic, social and political power, and in other relevant aspects of social and cultural life in the country. The myth of meritocracy, meanwhile, posits that whites earned their privileges and positions of dominance and power, and that conversely other minority groups effectively have not earned power and therefore are unable to rise into similar positions as whites. The myth of meritocracy also exists as divisions in â€Å"earned† power and privileges along gender lines, with white women being in inferior positi ons at work for instance due to white males having earned their positions through the merits of their own work and capabilities. While there are parties that assert that reverse discrimination exist, and documented in the courts, the reality is that white privilege persists as a social force acting in ways that reinforce those privileges at the expense of women and minorities, even as whites themselves in significant numbers have historically worked for more egalitarian social arrangements among races, viewing diversity in organizations as sources of strength and advantage that lift all in turn (Bell, 2011; pp. 223-256). Answering the first question, McIntosh presents many of the subtle ways by which white privilege presents itself in daily life, and it is easy to imagine that in the context of organizational diversity, many of those presentations are relevant, especially with regard to not being racially profiled for a host of activities including participating in race-based discus sions and in discussions on promotions, and with regard to the impact of subtle segregation rules in the choice of housing for employees that may work against drives by organizations to foster greater racial diversity in its employee pools. In promotions discussions, if majority of upper management is white too, then ingrained social forces operating within an organization would work against greater ethnic diversity in the management ranks too, to cite another example (McIntosh, 2009; McIntosh, 1990). To answer question two, If I were a member of a minority ethnic group, the white privileges relating to natural social tendencies to promote and enhance the power of whites over

The Role of Leaders in Developing a Culture of Quality Essay

The Role of Leaders in Developing a Culture of Quality - Essay Example ity, outlines the stakeholders involved in the process of inculcating the culture, the difference between the role of a manager and a leader in applying the culture of change and how the leaders can assess if they have been successful. Leaders play diverse roles in establishing the culture of quality in health care institutions. First, they take an active role as the main communicators to all levels within an institution. This means that leaders reach out to customers and members of staff and other stakeholders (Swayne et al., 2012). Furthermore, they facilitate communication of information pertaining to the culture of quality. Leaders develop the communication methods fit for the various audiences (Kelly, 2011). Additionally, they are required to listen attentively to the employees and address their concerns in relation to the process of implementing the culture of quality. Secondly, leaders act as strategic thinkers in managing the culture of change within health care institutions. This is owing to the fact that they are the ones with the best understanding of how the organization functions. They are central in ensuring the organization responds to the internal and external changes aimed at improving on quality (Kelly, 2011). Leaders should be well aware of the strengths and weaknesses within health care institutions, and therefore, implement the culture of change in the areas of need. Leaders formulate the objectives of a health care institution that need to be aligned them toward achieving the culture of quality. Thirdly, leaders play the imperative role of decision making in health care institutions while implementing the desired culture. It is necessary to note that leaders are faced with various alternatives and are required to come up with the best option that improves quality within a health care organization (Kongstvedt, 2012). Leaders take into account the influence their decisions have on employees, patients and other stakeholders. Finally, they

Gulf Regional Legal Environment of Business Essay - 1

Gulf Regional Legal Environment of Business - Essay Example There lies the presence of Sharia courts especially in the Gulf Region along with the existence of civil courts which help to preserve the law and order of the region (WSG, 2012). The various purposes of law which is prevalent in the Gulf Region include promoting the aspect of social justice, serving as a moral guide for the citizens, assuring personal freedoms and most importantly preserving law and order. The concept of business law is described as the enforceable rules and guidelines of conduct which administer the activities of the buyers as well as the sellers in business market exchanges (The McGraw-Hill Companies, n.d.). In relation to the business law, it has been viewed that there lies the broad accessibility of arbitration procedures which are encouraged as a way of finding resolution for any sort of disputes relating with the aspect of business law especially in the Gulf Region (WSG, 2012). In this paper, the concept of law as well as its importance to the society along wi th its various sources will be taken into concern. Moreover, a complete analysis of the case study on the basis of the concept of Tort of Law will be portrayed in the discussion. Discussion Importance of Law to the Society The major importance of law to the society is that it provides the enforcement power to the state in order to administer the behavior of the individuals belonging to any particular society. The different laws act as a formal based system of social control which exercises their absolute power at the particular time when there lies the non-effectiveness of the informal forms of social control (Tischler, 2010). The other crucial significance of law to the society is that it keeps the society running. Moreover, in the absence of law, there lies immense probable chance of occurring chaos as well as conflicts between the various social groups of a community. The introduction as well as the application of the various laws facilitates to preserve the orderly form of the s ociety and also to keep the world safe by a large extent. The role of law has been viewed to be a system of rules as well as regulations which emphasize upon the directive of maintaining the interrelation between the people along with their conflicting interests. With the non-appearance of any sort of established laws in the community, people would be free to take various decisions on the basis of their own ideas which can ultimately raise social conflicts considerably (Raz, 2009). Sources of Law Generally, the various sources of law include formal as well as material sources. In this regard, the formal sources are viewed to be the sources from which the law attains its force as well as validity. Conversely, the material sources of law refer to the different procedures which give rise to the evolution of the materials that are viewed to be the significant components of law (Dixon, 2007). In this similar context, it has been viewed that the different law sources especially in the Gul f Region include the Islamic law, Constitutional law and Legislation. The other law sources in the Gulf Region comprise the establishment of Abu Dhabi Court Law, Sharjah Court Law and Social Security Law among others. The Sharia courts are viewed to be